"sungguh
fantastis strategi tempur Pangeran Sambernyawa. Ibarat makan sepiring
bubur panas, ia sendok perlahan dari pinggirnya. Bergerak bagai siluman,
menekan daerah rawan konflik, menggusur daerah pertahanan yang lemah.
Lalu bergerak ke tengah, menyerbu pusat pemerintahan".
TOKOH REVOLUSIONER dari
Mangkunegaran Sala itu berhasil mengacau basis pertahanan VOC. Padahal
pasukannya sedikit, pra-sarana perangnya sederhana : keris, tombak dan
pistol klothok rampsan. VOC betul-betul kelabakan. Slogan perang tijitibeh atau mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh, mati satu mati saja semua, mulia satu semua harus turut mulia, selalu berkumandang saat berhadapan dengan pihak lawan.
Karena
keahliannya merancang strategi gerilya dan memusnahkan musuh tanpa
pandang bulu, maka dia dijuluki Sambernyawa atau si pencabut nyawa.
Namun sayang sekali, akhirnya Sambernyawa tertangkap dan dilenyapkan.
Kabar yang disiarkan pihak keraton Mangkunegaran, Sambernyawa seda moksa. Lenyap bersama raganya.
DIADOPSI UNTUK PERANG GERILYA
Meski usaha untuk mengusir 'penguasa' dari tanah perdikan yang
dibangun olehnya sia-sia namun namanya tetap melegenda sampai sekarang.
Bahkan konsep pertempurannya sering diadopsi pelaku perang gerilya.
Yakni seni perang desa mengepung kota dan laut mengepung pulau. Meski
route perang gerilyanya tidak dibuatkan tetenger - apalagi
dijadikan lomba baris-berbaris, seperti zaman Orba - toh filosofi
ciptaannya itu tetap dijadikan sumber inspirasi, bagi mereka yang
tersudut, tertekan tapi tanpa pasukan lengkap.
Disamping ahli perang, Sambernyawa dikabarkan juga ahli supranatural yang mumpuni. Ia sering melakukan lelaku batin
dan kontemplasi untuk menemukan hakikat berkerajaan, sampai harus
keluar dari pagar keraton segala. Ia melakukan perjalanan ke arah
Yogyakarta dan berhenti pada sebuah dataran tinggi di Ngawen,
Gunungkidul DIY. Menyusun strategi perang sambil tirakat di sebuah gunung batu yang disebut Gunung Gambar. Di puncak bukit itu, Sambernyawa menyusun strategi melawan Belanda.
Seringkali
jika malam datang dan dingin menyergap, Sambernyawa masih tegak
berdiri, rambutnya tergerai kesana-kemari dimainkan angin, kakinya
menapak keras bukit batu itu. Sekeras dendamnya kepada penguasa.
Pengikutnya khusuk mendampingi.
Dusun Gunung Gambar, sampai hari ini bukanlah dusun yang subur. Konsumsi utama mereka adalah gaplek, ketela
yang diolah. Batu cadas hidup berdampingan dengan ladang penduduk.
Sebuah desa yang sungguh terpencil dan dingin. Jika penduduk sekitar
bertanya, maka selalu jawaban yang keluar adalah : gusti pangeran sedang
menggambar negara. Maka lama kelamaan bukit batu yang tadinya tak bernama dijuluki Gunung Gambar.
Dalam
buku sejarah sekolah dasar, tidak disebutkan Sambernyawa lelaku di
Gunung Gambar. Yang ditulis adalah Sambernyawa pernah beranjangsana ke
Nglipar Gunung Kidul, 15 kilometer dari Ngawen. Di buku sejarah populer
malah ditulis ia mesuraga di Giri Bangun, di Matesih Karanganyar Jawa Tengah. Dan di kelak kemudian jadi makamnya sekalian. Penduduk Gunung Gambar mengisahkan mesuraga Sambernyawa yang tidak banyak diketahui orang itu secara turun-temurun.
Riwayat
Sambernyawa sendiri dimulai dari pergolakan suksesi di Kraton Surakarta
(sekarang Sala-Jawa Tengah) pada masa pemerintahan Paku Bhuwono I, di
awal abad 17. Kala itu, Pangeran Ario Mangkunegara I, ayah Sambernyawa,
batal diangkat jadi raja menggantikan PB I. Gara-gara PB II, anak PB I
lain Ibu melakukan distorsi politik. Akhirnya Ario Mangkunegara I
diasingkan ke Ceylon atau Srilangka. Setelah berhasil menyingkirkan
pewaris resmi, PB II memindahkan keraton dari Kartasura ke Surakarta.
Distorsi semakin memuncak. Anak Amangkurat IV ke 21 yang disebut Raden
Mas Suyono naik tahta pula di Yogyakarta dan bergelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I.
Ketika
berangkat ke Srilangka, isteri Ario Mangukenagara I melahirkan anak
satu-satunya dan diberi nama Raden Mas Said, yang kelak terkenal dengan
sebutan Pangeran Sambernyawa. Sejak remaja, Sambernyawa memang sudah
tangguh dan berbakat perang. Maka saat usianya menginjak 15 tahun, dia
diangkat jadi mantri oleh PB II dan bergelar Pangeran Suryokusumo.
Beberapa saat kemudian terjadi pemberontakan kaum pedagang Cina,
Sambernyawa meredam dengan gemilang. Ia pun diberi gelar baru Prabu
Prangwandono. Pada usianya yang ke-19 ia menyunting Kanjeng Raden
Bendara, puteri Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Sambernyawa
termasuk pangeran langka. Karena sedikit sekali dokumentasi tentang
dirinya di Keraton Surakarta. Ia memiliki kekuatan supranatural yang
mumpuni sampai tidak mempan difoto. Ia juga dikenal memiliki aji sirep dan panglimunan atau ilmu menghilang. Kedua ilmu Sambernyawa ini sampai sekarang tidak dapat ditelusuri apa jenisnya.
Semasa
hidupnya, Sambernyawa menulis Serat Wedhatama yang didalamnya memuat
ajaran Tri Dharma yang sangat terkenal. Terdiri 3 butir sesanti berbunyi
rumangsa melu handarbeni, wajib ikut memiliki. Wajib melu hangopeni, harus turut mempertahankan dan mulat sariro bangrasa wani, setelah intropeksi baru bertindak.
SEDA MOKSA
Sampai
sekarang, riwayat wafatnya Pangeran Sambernyawa masih simpang siur. Ada
yang mengatakan jasadnya dimakamkan di halaman keraton, ada pula yang
meyakini sudah dimakamkan di Bukit Mangadeg. Matesih Karanganyar Jawa
Tengah. Untuk adilnya, kita sebut seda moksa saja. Meninggal dan
menghilang bersama raganya. Bagi yang percaya, misteri Sambernyawa moksa
tidak dilihat sebagai misteri alam tapi misteri kebatinan. Dalam arti
arwah dan jasadnya mrayang - disemayamkan di alam gaib - dan tidak terdaftar di alam kematian. Karena masih di alam gaib maka ether atau pancaran jiwanya diyakini bisa jadi pundhen atau
tempat mengeluh dan berlindung. Memang hampir sama dengan pengertian
yang diyakini penganut animisme, namun sesungguhnya berbeda. Secara
filosofis, pundhen adalah simbolisasi kejiwaan manusia yang
selalu membutuhkan sosok panutan. Ketika tertindas butuh sosok pembebas,
ketika tersingkir butuh sosok pembalas, ketika terbongkar rahasianya
butuh mengadopsi teknik gerilya Sambernyawa, sehingga kerusuhan dan
kebakaran terjadi di mana-mana.
Karena Sambernyawa juga sosok mumpuni dalam kadigdayan maka
terasa kurang lengkap jika adopsi tekniknya tidak diselubungi
pernak-pernik kebatinan. Disamping hasilnya akan lebih efektif dan tak
terduga, kesetiaan pasukan semakin menguat jika dipengaruhi lewat ilmu
gaib. Jadi tidak cukup indoktrinasi dan pemolaan sikap semata. Apalagi
jika pengikutnya mulai berubah pragmatis.
Aji Jayakawijayan milik Sambernyawa tentu saja, bukan ajian sembarangan. Sebagai keturunan ningrat tentu ia mendapat pendidikan ilmu kanoman dan kasepuhan terbaik
dari para ahli supranatural keraton. Sebagaimana diketahui, seni budaya
keraton merupakan puncak-puncak seni budaya kamu petani di wilayah
kekuasaannya. Disamping warisan leluhur secara turun temurun. Zaman
dahulu, keraton memiliki kebiasaan mengambil seni budaya tradisional
dari kaum petani, termasuk budaya supranatural. Pencipta atau pemiliknya
dianugerahi gelar atau diangkat jadi abadi dalem.
Kebatinan
bukan agama, hanya semacam 'agama' kecil yang ditumbuhkan oleh
kebiasaan masyarakat secara turun temurun dan akhirnya menjelma jadi
kebudayaan. Ia tidak menawarkan surga dan neraka, tapi memelihara ajaran
budi pekerti tentang baik dan buruk. Karena wujudnya adalah kebudayaan
maka pengaruhnya merata. Dari rakyat jelata sampai raja penguasa.
Pada
tahung 1757, di usianya yang ke-31 Sambernyawa resmi mendirikan dinasti
Mangkunegaran I dan memerintah 38 tahun lamanya. Sampai sekarang
dinasti Mangkunegaran sudah diwariskan sampai 9 generasi.