Waktu itu, angkatan senior saya (sebut saja namanya Mahmud)
mempersiapkan pendakian. Lantaran tujuannya semi refreshing menjelang
UAS, mereka memilih gunung yang relatif gampang. Untuk itulah, gunung
Lawu menjadi tujuan. Sebagai informasi, gunung di perbatasan
Jateng-Jatim itu menjadi ajang latihan sebuah korps pasukan elit
kebanggaan bangsa ini. Wajar saja kalau jalurnya
relatif damai & bersahabat karena setiap tahun selalu diperbarui.
Beda dengan Ciremai di Jawa Barat, Slamet di Jawa Tengah, atau Semeru di
Jawa Timur. Di ketiga gunung itu, pendaki biasanya mengikuti jalur air
karena itulah jalur yang tersedia secara alami. Jalur lain biasanya
harus membuka sendiri atau mengikuti bekas jalur dari kelompok lain.
Mahmud dan rekan-rekan semuanya berlima. Biasanya jumlah rombongan naik
gunung selalu genap, karena ada semacam pantangan untuk jumlah anggota
ganjil. Katanya nanti jumlah rombongan akan digenapi oleh makhluk
astral. Tapi saat itu mereka cuek karena memang tidak berniat buruk.
Lagipula, gunung adalah ciptaan-Nya yang selalu tersedia untuk dikagumi.
Kenapa harus pusing dengan segala macam pantangan? Begitu mereka
berpikir. Mereka memang datang dari keluarga dengan latar religi yang
cukup kokoh. Mahmud menempuh pendidikan pesantren saat usia SD,
sementara Leki — teman sekosan Mahmud yang juga ikut saat itu — adalah
anak seorang pemuka agama di Kabupaten paling selatan di DIY.
Sementara ketiga personil lain mahasiswa biasa. Tarso adalah teman
seangkatan Mahmud beda jurusan yang lebih sering nongkrong di sekre
sampai malam sambil membunyikan gitar dan menenggak minuman dari botol
bergambar pria bertopi. Mahmud jarang mengikuti kegiatan lapangan meski
juga anggota. Capung anggota mapala dari divisi panjat. Ia lebih sering
mengakrabi dinding dan tebing ketimbang pendakian yang menghabiskan
waktu minimal 2 hari. Personil terakhir, Anto, seorang mahasiswa galau
yang selalu asyik menembak cewek tanpa pernah diterima. Ia sedivisi
dengan Capung.
Mereka berangkat dari kota pelajar sabtu siang. Masa
itu perkuliahan masih senin-sabtu, tidak seperti sekarang yang hanya 5
hari. Tujuannnya adalah base camp Cemara Kandang, yang letaknya
kira-kira 5 km di atas obyekwisata Tawangmangu. Setiba di basecamp
menjelang magrib, kondisinya terbilang sepi. Hanya ada 1 rombongan lain
dari Jatim yang juga akan mendaki. Lantaran saat itu kebetulan sedang
bulan puasa, Mahmud dkk memutuskan berangkat setelah berbuka. Sementara
untuk tarawih dan makan besar akan dilakukan di pos 2, yang biasanya
tersedia air. Maklum, mendaki dengan perut terisi penuh setelah berbuka
sangat tidak dianjurkan dari segi kesehatan. Bisa-bisa terjadi kram
karena tenaga terbagi-bagi antara sistem pencernaan dengan sistem gerak.
Mereka berbuka dengan roti dan minuman hangat, lalu segera beranjak
dari basecamp sebelum waktu isya. Perjalanan cukup lancar. Sejam
berlalu, sampailah mereka di pos 2 alias pos air terjun/pos kawah. Lawu
memang tidak memiliki kawah di puncak, melainkan di lerengnya. Di sana
mereka membuka nasi bungkus yang dibeli dari warung di dekat basecamp.
Usai makan, Leki mengajak menunaikan shalat isya sekaligus tarawih.
Shalatlah mereka berlima dengan outfit lengkap (sepatu, slayer di leher,
jaket) Gunanya jelas menahan dingin. Jangan heran, saat kemarau suhu
lereng gunung bisa lebih dingin ketimbang penghujan karena angin kemarau
lebih kencang.
Shalat isya dipimpin Mahmud dan ia akhiri dengan
salam, seperti biasa. Saat itu tidak ada keanehan. Berikutnya 4 rakaat
pertama tarawih dipimpin oleh Leki. Saat ia mengucap salam, tiba-tiba
terdengar suara bergemuruh ikut mengucap salam di belakang shaf makmum.
Suaranya seperti sangat banyak, sampai seramai jamaah shalat ied. Leki
segera berbalik dan menghadap teman-temannya. Namun yang ia lihat ya
hanya para personil pendakian. Di belakang mereka tidak ada siapa pun,
hanya gelapnya hutan tanpa cahaya. Tarso, Capung, dan Anto, saling
berpandangan dengan gemetar. Mereka bertiga memang bukan divisi gunung
hutan, jarang menghadapi kondisi alam secara langsung. Baru kali itu
mereka mengalaminya, biasanya hanya mendengar dari cerita-cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar